Akulahir di sebuah desa terpencil di Magetan, Jawa Timur, selalu diajarkan untukmengucapkan terima kasih oleh orang tua, khususnya ibu. Saat menggendong aku,jika ada orang lain yang memberikan sesuatu pada aku (permen, makanan, uang,dll) ibu selalu bilang, “matur suwun yaYu, matur suwun ya Pak, matur suwun Bude,” dan sebagainya. Sambilmengucapkan itu ibu memegang tanganku dan seolah-olah aku sendiri yangmengatakan hal itu pada orang tersebut.
SaatMbahku berkunjung ke rumah kami atau kami ke rumahnya, bila Si Mbah membelikanjajan lagi-lagi Ibu selalu mengajariku untuk mengucapkan terima kasih. Begitujuga yang terjadi seperti sekarang, banyak ibu-ibu di pedesaan yang tetapmengajarkan anaknya seperti yang terjadi padaku dulu.
Setelahmemasuki usia remaja yang terjadi padaku justru berbeda. Aku merasa risih dangengsi mengucapkan kata terima kasih. Kenapa ya aku kok malu? Kenapa aku kokrisih dan gengsi? Padahal ini penting untuk menghargai sesuatu yang orang lainlakukan atau berikan pada kita. Mengucapkan terima kasih pada orang yang lebihtua/ lebih tinggi pangkatnya dan lebih aku hormati rasanya lebih gampang danada kata ‘harus’ mengucapkannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang akupelajari artinya ‘terima kasih’ adalah rasa syukur. ‘Berterima kasih’ adalahmengucapkan syukur; melahirkan rasa syukur atau membalas budi setelah menerimakebaikan dsb.
Seringsekali aku melihat ada remaja atau anak-anak yang diberikan sesuatu oleh oranglain tapi tidak mengucapkan terima kasih. Dia langsung ngeloyor pergi denganmalu-malu. Atau tetap di depan orang tersebut dengan menundukan kepalamalu-malu. Orangtuanya tetap bilang terima kasih ke orang tersebut. Entah anaknyabilang terima kasih atau tidak. Apa ya yang dirasakan oleh orang yangmemberikan sesuatu tersebut jika anak tersebut tidak bilang terima kasih danjika anak tersebut bilang terima kasih?
Lha nek wong sing ngewehi iku awakmu piye? (lha,kalau orang yang memberikan itu kamu gimana?) DOR! Ditanya itu rasanya sepertiditembak tanpa bisa mengelak atau tanpa perlindungan apa pun. Hmm Aku seringsekali jika memberikan sesuatu atau membantu orang lain, merasa kikuk, merasanggak terima kalau orang tersebut tidak mengucapkan terima kasih. “Orang sudahdibantu atau dikasih sesuatu kok nggak bilang terima kasih? Apa sih beratnyabilang gitu aja?” Hahaha! Itu yangsering ada dalam perasaan aku. “lha, kamu ini membantu orang lain kok pamrih?” Modar kon! Hahaha! Kalau aku sendiri punyaperasaan itu apakah orang lain begitu juga? Walau pun tidak semuanya sama.
Padaakhirnya aku kalau membantu orang ya belajar untuk tulus aja. Tanpa pamrih danembel-embel, meskipun embel-embelnya sederhana, berharap diberikan ucapanterima kasih. Kalau memang kita bisa membantu dan sanggup membantu apasalahnya. Entah dia terimakasih atau nggak itu kan masuk ranah pribadi orangtersebut. Tapi, susahnya luar biasa. Hehehe.
Pernahtemanku yang bekerja sebagai sekretaris seorang pimpinan perusahaanmenceritakan pengalamannya tentang terima kasih ini. Bosnya bilang kalau diaharus berterima kasih pada orang lain dan siapa pun yang membantu danmempermudah kerja atau hidup kita, “sekecil dan sesederhana apa pun yang merekalakukan untuk kita. Misalnya terhadap tukang parkir. Kalau kita nggak adatukang parkir, kira-kira apa yang terjadi? Parkir mobil tidak teratur, semuaorang saling serobot tempat parkir, atau bisa saja kita menabrak pagar/ mobillain karena tidak ada yang mengarahkan. Terhadap tukang sampah atau cleaningservice, kalau nggak ada mereka apa yang akan terjadi pada kantor kita? Kantor-kantoryang lain dan fasilitas umum di sini?” Sejak diberikan penjelasan tersebuttemanku jadi mengerti kenapa dia harus mengucapkan terima kasih. Dia tanpabeban, malu dan gengsi mengucapkan terima kasih pada orang yang membantunya. Bukankarena keharusan/ kewajiban atau peraturan. Tapi karena benar-benar inginmengucapkan terima kasih karena orang lain membantu kita/ mempermudah kerja danhidup kita. Aku pun jadi termangu mendengar cerita sederhana tersebut. Apakah akusudah begitu? Apakah aku tulus kalau membantu atau pun memberi? DOR! *SKD*